Pada suatu hari, Nabi Ibrahim
AS menyembelih kurban fisabilillah berupa 1.000 ekor domba, 300 ekor sapi, dan
100 ekor unta. Banyak orang mengaguminya, bahkan para malaikat pun
terkagum-kagum atas kurbannya.
“Kurban sejumlah itu bagiku belum
apa-apa. Demi Allah! Seandainya aku memiliki anak lelaki, pasti akan aku
sembelih karena Allah dan aku kurbankan kepada-Nya,” kata Nabi Ibrahim AS, sebagai
ungkapan karena Sarah, istri Nabi Ibrahim belum juga mengandung.
Kemudian Sarah menyarankan Ibrahim
agar menikahi Hajar, budaknya yang negro, yang diperoleh dari Mesir. Ketika
berada di daerah Baitul Maqdis, beliau berdoa kepada Allah SWT agar dikaruniai
seorang anak, dan doa beliau dikabulkan Allah SWT. Ada yang mengatakan saat itu
usia Ibrahim mencapai 99 tahun. Dan karena demikian lamanya maka anak itu
diberi nama Isma'il, artinya "Allah telah mendengar". Sebagai
ungkapan kegembiraan karena akhirnya memiliki putra, seolah Ibrahim berseru:
"Allah mendengar doaku".
Ketika usia Ismail menginjak
kira-kira 7 tahun (ada pula yang berpendapat 13 tahun), pada malam tarwiyah,
hari ke-8 di bulan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim AS bermimpi ada seruan, “Hai
Ibrahim! Penuhilah nazarmu (janjimu).”
Pagi harinya, beliau pun berpikir
dan merenungkan arti mimpinya semalam. Apakah mimpi itu dari Allah SWT atau
dari setan? Dari sinilah kemudian tanggal 8 Dzulhijah disebut sebagai hari tarwiyah
(artinya, berpikir/merenung).
Pada malam ke-9 di bulan Dzulhijjah,
beliau bermimpi sama dengan sebelumnya. Pagi harinya, beliau tahu dengan yakin
mimpinya itu berasal dari Allah SWT. Dari sinilah hari ke-9 Dzulhijjah disebut
dengan hari ‘Arafah (artinya mengetahui), dan bertepatan pula waktu itu
beliau sedang berada di tanah Arafah.
Malam berikutnya lagi, beliau mimpi
lagi dengan mimpi yang serupa. Maka, keesokan harinya, beliau bertekad untuk
melaksanakan nazarnya (janjinya) itu. Karena itulah, hari itu disebut denga
hari menyembelih kurban (yaumun nahr). Dalam riwayat lain dijelaskan,
ketika Nabi Ibrahim AS bermimpi untuk yang pertama kalinya, maka beliau memilih
domba-domba gemuk, sejumlah 100 ekor untuk disembelih sebagai kurban. Tiba-tiba
api datang menyantapnya. Beliau mengira bahwa perintah dalam mimpi sudah
terpenuhi. Untuk mimpi yang kedua kalinya, beliau memilih unta-unta gemuk
sejumlah 100 ekor untuk disembelih sebagai kurban. Tiba-tiba api datang
menyantapnya, dan beliau mengira perintah dalam mimpinya itu telah terpenuhi.
Pada mimpi untuk ketiga kalinya,
seolah-olah ada yang menyeru, “Sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu agar
menyembelih putramu, Ismail.” Beliau terbangun seketika, langsung memeluk
Ismail dan menangis hingga waktu Shubuh tiba. Untuk melaksanakan perintah Allah
SWT tersebut, beliau menemui istrinya terlebih dahulu, Hajar (ibu Ismail).
Beliau berkata, “Dandanilah putramu dengan pakaian yang paling bagus, sebab ia
akan kuajak untuk bertamu kepada Allah.” Hajar pun segera mendandani Ismail
dengan pakaian paling bagus serta meminyaki dan menyisir rambutnya.
Kemudian beliau bersama putranya
berangkat menuju ke suatu lembah di daerah Mina dengan membawa tali dan sebilah
pedang. Pada saat itu, Iblis terkutuk sangat luar biasa sibuknya dan belum
pernah sesibuk itu. Mondar-mandir ke sana ke mari. Ismail yang melihatnya
segera mendekati ayahnya.
“Hai Ibrahim! Tidakkah kau
perhatikan anakmu yang tampan dan lucu itu?” seru Iblis.
“Benar, namun aku diperintahkan
untuk itu (menyembelihnya),” jawab Nabi Ibrahim AS.
Setelah gagal membujuk ayahnya,
Iblsi pun datang menemui ibunya, Hajar. “Mengapa kau hanya duduk-duduk tenang
saja, padahal suamimu membawa anakmu untuk disembelih?” goda Iblis.
“Kau jangan berdusta padaku, mana
mungkin seorang ayah membunuh anaknya?” jawab Hajar.
“Mengapa ia membawa tali dan sebilah
pedang, kalau bukan untuk menyembelih putranya?” rayu Iblis lagi.
“Untuk apa seorang ayah membunuh
anaknya?” jawab Hajar balik bertanya.
“Ia menyangka bahwa Allah
memerintahkannya untuk itu”, goda Iblis meyakinkannya.
“Seorang Nabi tidak akan ditugasi
untuk berbuat kebatilan. Seandainya itu benar, nyawaku sendiri pun siap
dikorbankan demi tugasnya yang mulia itu, apalagi hanya dengan mengurbankan
nyawa anaku, hal itu belum berarti apa-apa!” jawab Hajar dengan mantap.
Iblis gagal untuk kedua kalinya,
namun ia tetap berusaha untuk menggagalkan upaya penyembelihan Ismail itu.
Maka, ia pun menghampiri Ismail seraya membujuknya, “Hai Isma’il! Mengapa kau
hanya bermain-main dan bersenang-senang saja, padahal ayahmu mengajakmu
ketempat ini hanya untk menyembelihmu. Lihat, ia membawa tali dan sebilah
pedang,”
“Kau dusta, memangnya kenapa ayah
harus menyembelih diriku?” jawab Ismail dengan heran. “Ayahmu menyangka bahwa
Allah memerintahkannya untuk itu” kata Iblis meyakinkannya.
“Demi perintah Allah! Aku siap
mendengar, patuh, dan melaksanakan dengan sepenuh jiwa ragaku,” jawab Ismail
dengan mantap.
Ketika Iblis hendak merayu dan
menggodanya dengan kata-kata lain, mendadak Ismail memungut sejumlah kerikil
ditanah, dan langsung melemparkannya ke arah Iblis hingga butalah matanya
sebelah kiri. Maka, Iblis pun pergi dengan tangan hampa. Dari sinilah kemudian
dikenal dengan kewajiban untuk melempar kerikil (jumrah) dalam ritual
ibadah haji.
Sesampainya di Mina, Nabi Ibrahim AS
berterus terang kepada putranya, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam
mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?…” (QS. Ash-Shâffât,
[37]: 102).
“Ia (Ismail) menjawab, ‘Hai bapakku!
Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah! Kamu mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 102).
Mendengar jawaban putranya, legalah
Nabi Ibrahim AS dan langsung ber-tahmid (mengucapkan Alhamdulillâh)
sebanyak-banyaknya.
Untuk melaksanakan tugas ayahnya itu
Ismail berpesan kepada ayahnya, “Wahai ayahanda! Ikatlah tanganku agar aku
tidak bergerak-gerak sehingga merepotkan. Telungkupkanlah wajahku agar tidak
terlihat oleh ayah, sehingga tidak timbul rasa iba. Singsingkanlah lengan baju
ayah agar tidak terkena percikan darah sedikitpun sehingga bisa mengurangi
pahalaku, dan jika ibu melihatnya tentu akan turut berduka.”
“Tajamkanlah pedang dan goreskan
segera dileherku ini agar lebih mudah dan cepat proses mautnya. Lalu bawalah
pulang bajuku dan serahkan kepada agar ibu agar menjadi kenangan baginya, serta
sampaikan pula salamku kepadanya dengan berkata, ‘Wahai ibu! Bersabarlah dalam
melaksanakan perintah Allah.’ Terakhir, janganlah ayah mengajak anak-anak lain
ke rumah ibu sehingga ibu sehingga semakin menambah belasungkawa padaku, dan
ketika ayah melihat anak lain yang sebaya denganku, janganlah dipandang seksama
sehingga menimbulka rasa sedih di hati ayah,” sambung Isma'il.
Setelah mendengar pesan-pesan
putranya itu, Nabi Ibrahim AS menjawab, “Sebaik-baik kawan dalam melaksanakan
perintah Allah SWT adalah kau, wahai putraku tercinta!”
Kemudian Nabi Ibrahim as
menggoreskan pedangnya sekuat tenaga ke bagian leher putranya yang telah diikat
tangan dan kakinya, namun beliau tak mampu menggoresnya.
Ismail berkata, “Wahai ayahanda!
Lepaskan tali pengikat tangan dan kakiku ini agar aku tidak dinilai terpaksa
dalam menjalankan perintah-Nya. Goreskan lagi ke leherku agar para malaikat
megetahui bahwa diriku taat kepada Allah SWT dalam menjalan perintah
semata-mata karena-Nya.”
Nabi Ibrahim as melepaskan ikatan
tangan dan kaki putranya, lalu beliau hadapkan wajah anaknya ke bumi dan
langsung menggoreskan pedangnya ke leher putranya dengan sekuat tenaganya,
namun beliau masih juga tak mampu melakukannya karena pedangnya selalu
terpental. Tak puas dengan kemampuanya, beliau menghujamkan pedangnya kearah
sebuah batu, dan batu itu pun terbelah menjadi dua bagian. “Hai pedang! Kau
dapat membelah batu, tapi mengapa kau tak mampu menembus daging?” gerutu
beliau.
Atas izin Allah SWT, pedang
menjawab, “Hai Ibrahim! Kau menghendaki untuk menyembelih, sedangkan Allah
penguasa semesta alam berfirman, ‘jangan disembelih’. Jika begitu, kenapa aku
harus menentang perintah Allah?”
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya
ini benar-benar suatu ujian yang nyata (bagimu). Dan Kami tebus anak itu dengan
seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 106)
Menurut satu riwayat, bahwa Ismail diganti
dengan seekor domba kibas yang dulu pernah dikurbankan oleh Habil dan selama
itu domba itu hidup di surga. Malaikat Jibril datang membawa domba kibas itu
dan ia masih sempat melihat Nabi Ibrahim AS menggoreskan pedangnya ke leher
putranya. Dan pada saat itu juga semesta alam beserta seluruh isinya ber-takbir
(Allâhu Akbar) mengagungkan kebesaran Allah SWT atas kesabaran kedua umat-Nya
dalam menjalankan perintahnya. Melihat itu, malaikai Jibril terkagum-kagum
lantas mengagungkan asma Allah, “Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar”.
Nabi Ibrahim AS menyahut, “Lâ Ilâha Illallâhu wallâhu Akbar”. Ismail
mengikutinya, “Allâhu Akbar wa lillâhil hamd”. Kemudian bacaan-bacaan tersebut
dibaca pada setiap hari raya kurban (Idul Adha).
Tata Cara MENYEMBELIH HEWAN KURBAN
-Menajamkan Pisau Dan Memperlakukan Binatang Kurban Dengan Baik
-Menjauhkan Pisaunya Dari Pandangan Binatang Kurban
-Menghadapkan Binatang Kurban Kearah Kiblat ….
Berqurban Menurut Sunnah Nabi
Beberapa ulama menyatakan bahwa berkurban itu lebih utama daripada sedekah yang nilainya sepadan. Bahkan lebih utama daripada membeli daging yang seharga atau bahkan yang lebih mahal dari harga binatang kurban tersebut kemudian daging tersebut disedekahkan. Sebab, tujuan yang terpenting dari berkurban itu adalah taqarrub kepada Allah melalui penyembelihan. (Asy Syarhul Mumti’ 7/521 dan Tuhfatul Maulud hal. 65)
Hukum Berkurban
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berkurban, ada yang berpendapat wajib dan ada pula yang berpendapat sunnah mu’akkadah. Namun mereka sepakat bahwa amalan mulia ini memang disyariatkan. (Hasyiyah Asy Syarhul Mumti’ 7/519). Sehingga tak sepantasnya bagi seorang muslim yang mampu untuk meninggalkannya, karena amalan ini banyak mengandung unsur penghambaan diri kepada Allah, taqarrub, syiar kemuliaan Islam dan manfaat besar lainnya.
Berkurban Lebih Utama Daripada Sedekah
Beberapa ulama menyatakan bahwa berkurban itu lebih utama daripada sedekah yang nilainya sepadan. Bahkan lebih utama daripada membeli daging yang seharga atau bahkan yang lebih mahal dari harga binatang kurban tersebut kemudian daging tersebut disedekahkan. Sebab, tujuan yang terpenting dari berkurban itu adalah taqarrub kepada Allah melalui penyembelihan. (Asy Syarhul Mumti’ 7/521 dan Tuhfatul Maulud hal. 65)
Perihal Binatang Kurban
a. Harus Dari Binatang Ternak
Binatang ternak tersebut berupa unta, sapi, kambing ataupun domba. Hal ini sebagaimana firman Allah (artinya):
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka.” (Al Hajj: 34)
Jika seseorang menyembelih binatang selain itu -walaupun harganya lebih mahal- maka tidak diperbolehkan. (Asy Syarhul Mumti’ 7/ 477 dan Al Majmu’ 8/222)
b. Harus Mencapai Usia Musinnah dan Jadza’ah
Hal ini didasarkan sabda Nabi :
لاَ تَذْبَحُوْا إِلاَّ مُسِنَّةً إِلاَّ أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ
فَتَذْبَحُوْا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ
“Janganlah kalian menyembelih kecuali setelah mencapai usia musinnah
(usia yang cukup bagi unta, sapi dan kambing untuk disembelih, pen). Namun
apabila kalian mengalami kesulitan, maka sembelihlah binatang yang telah
mencapai usia jadza’ah (usia yang cukup, pen) dari domba.” (H.R. Muslim)Oleh karena tidak ada ketentuan syar’i tentang batasan usia tersebut maka terjadilah perselisihan di kalangan para ulama. Akan tetapi pendapat yang paling banyak dipilih dan dikenal di kalangan mereka adalah: unta berusia 5 tahun, sapi berusia 2 tahun, kambing berusia 1 tahun dan domba berusia 6 bulan.
c. Tidak Cacat
Klasifikasi cacat sebagaimana disebutkan Nabi dalam sabdanya:
أَرْبَعٌ لاَتَجُوْزُ فِيْ اْلأَضَاحِي: اَلْعَوْرَاءُ اَلْبَيِّنُ
عَوْرُهاَ وَاْلمَرِيْضَةُ اَلْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَاْلعَرْجَاءُ اَلْبَيِّنُ
ضِلْعُهَا وَاْلكَسِيْرُ -وَفِي لَفْظٍ- اَلْعَجْفَاءُ اَلَّتِي لاَ تُنْقِيْ
“Empat bentuk cacat yang tidak boleh ada pada binatang kurban: buta
sebelah yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas
pincangnya dan kurus yang tidak bersumsum.” (H.R. Abu Dawud dan selainnya
dengan sanad shahih)Lantas, diantara para ulama memberikan kesimpulan sebagai berikut:
o Kategori cacat (didalam As Sunnah) yang tidak boleh ada pada binatang kurban adalah empat bentuk tadi. Kemudian dikiaskan kepadanya, cacat yang semisal atau yang lebih parah dari empat bentuk tersebut.
o Kategori cacat yang hukumnya makruh seperti terbakar atau robek telinga dan patah tanduk yang lebih dari setengah.
o Adapun cacat yang tidak teriwayatkan tentang larangannya -walaupun mengurangi kesempurnaan- maka ini masih diperbolehkan. (Asy Syarhul Mumti’ 7/476-477 dan selainnya)
Walaupun kategori yang ketiga ini diperbolehkan, namun sepantasnya bagi seorang muslim memperhatikan firman Allah (artinya):
“Kalian tidak akan meraih kebaikan sampai kalian menginfakkan apa-apa yang kalian cintai.” (Ali Imran : 92)
d. Jenis Binatang Apa Yang Paling Utama?
Para ulama berbeda pendapat tentang jenis binatang yang paling utama untuk dijadikan kurban. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil yang shahih dan jelas yang menentukan jenis binatang yang paling utama, wallahu a’lam. Asy Syaikh Muhammad Amin Asy Syanqithi rahimahullah tidak menguatkan salah satu pendapat para ulama yang beliau sebutkan dalam kitab Adwa’ul Bayan 5/435, karena nampaknya masing-masing mereka memiliki alasan yang cukup kuat.
Hanya saja seseorang yang mau berkurban hendaknya memberikan yang terbaik dari apa yang dia mampu dan tidak meremehkan perkara ini. Allah mengingatkan (artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman, berinfaklah dengan sebagian yang baik dari usaha kalian dan sebagian yang Kami tumbuhkan di bumi ini untuk kalian. Janganlah kalian memilih yang buruk lalu kalian infakkan padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata. Ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.” (Al Baqarah: 267)
Jumlah Binatang Kurban
a. Satu Kambing Mewakili Kurban Sekeluarga
Abu Ayyub Al Anshari Radhiallahu’anhu menuturkan: “Dahulu ada seseorang dimasa Rasulullah menyembelih seekor kambing untuk dirinya dan keluarganya.” (H.R. At Tirmidzi dan selainnya dengan sanad shahih)
b. Satu Unta Atau Sapi Mewakili Kurban Tujuh Orang Dan Keluarganya
Hal ini dikemukakan Jabir bin Abdillah: “Kami dulu bersama Rasulullah pernah menyembelih seekor unta gemuk untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang pula pada tahun Al Hudaibiyyah.” (H.R. Muslim)
Waktu Penyembelihan
a. Awal Waktu
Yaitu setelah penyembelihan kurban yang dilakukan oleh imam (penguasa) kaum muslimin ditanah lapang. (H.R. Muslim). Apabila imam tidak melaksanakannya maka setelah ditunaikannya shalat ied. (Muttafaqun ‘alaihi)
b. Akhir waktu
Para ulama berbeda pendapat tentang akhir penyembelihan kurban. Ada yang berpendapat dua hari setelah ied, tiga hari setelah ied tersebut, hari ied itu sendiri (tentunya setelah tengelamnya matahari) dan hari akhir bulan Dzulhijjah. Perbedaan pendapat ini berlangsung seiring tidak adanya keterangan shahih dan jelas dari Nabi tentang batas akhir penyembelihan. Namun tampaknya dua pendapat pertama tadi cukuplah kuat. Wallahu a’lam.
Sunnah Yang Dilupakan
o Bagi orang yang hendak berkurban, tidak diperkenankan baginya untuk mengambil (mencukur) segala rambut/bulu, kuku dan kulit yang terdapat pada tubuhnya (orang yang berkurban tersebut, pen) setelah memasuki tanggal 1 Dzulhijjah sampai disembelih binatang kurbannya, sebagaimana hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh Muslim. Namun bila sebagian rambut/bulu, kulit dan kuku cukup mengganggu, maka boleh untuk mengambilnya sebagaimana keterangan Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy Syarhul Mumti’ 7/ 532.
o Diantara sunnah yang dilupakan bahkan diasingkan mayoritas kaum muslimin adalah pelaksanaan kurban di tanah lapang setelah shalat ied oleh imam (penguasa) kaum muslimin. Wallahul musta’an. Padahal Rasulullah menunaikan amalan agung ini. Abdullah bin Umar Radhiallahu’anhu berkata: “Dahulu Rasulullah menyembelih binatang kurban di Mushalla (tanah lapang untuk shalat ied, pen).” (H.R. Bukhari). Dan tidaklah Rasulullah melakukan sesuatu kecuali pasti mengandung manfaat yang besar.
Tata Cara Penyembelihan
a. Menajamkan Pisau Dan Memperlakukan Binatang Kurban Dengan Baik
Rasulullah bersabda (artinya): “Sesungguhnya Allah mewajibkan perbuatan baik terhadap segala sesuatu. Apabila kalian membunuh maka bunuhlah dengan cara yang baik. Dan jika kalian menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik pula. Hendaklah salah seorang diantara kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan (tidak menyiksa) sesembelihannya.” (H.R. Muslim)
b. Menjauhkan Pisaunya Dari Pandangan Binatang Kurban
Cara ini seperti yang diceritakan Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah pernah melewati seseorang yang meletakkan kakinya didekat leher seekor kambing, sedangkan dia menajamkan pisaunya. Binatang itu pun melirik kepadanya. Lalu beliau bersabda (artinya): “Mengapa engkau tidak menajamkannya sebelum ini (sebelum dibaringkan, pen)?! Apakah engkau ingin mematikannya sebanyak dua kali?!.” (H.R. Ath Thabrani dengan sanad shahih)
c. Menghadapkan Binatang Kurban Kearah Kiblat
Sebagaimana hal ini pernah dilakukan Ibnu Umar Radhiallahu’anhu dengan sanad yang shahih.
d. Tata Cara Menyembelih Unta, Sapi, Kambing Atau Domba
Apabila sesembelihannya berupa unta, maka hendaknya kaki kiri depannya diikat sehingga dia berdiri dengan tiga kaki. Namun bila tidak mampu maka boleh dibaringkan dan diikat. Setelah itu antara pangkal leher dengan dada ditusuk dengan tombak, pisau, pedang atau apa saja yang dapat mengalirkan darahnya.
Sedangkan bila sesembelihannya berupa sapi, kambing atau domba maka dibaringkan pada sisi kirinya, kemudian penyembelih meletakkan kakinya pada bagian kanan leher binatang tersebut. Seiring dengan itu dia memegang kepalanya dan membiarkan keempat kakinya bergerak lalu menyembelihnya pada bagian atas dari leher. (Asy Syarhul Mumti’ 7/478-480 dengan beberapa tambahan)
e. Berdoa Sebelum Menyembelih
Lafadz doa tersebut adalah:
- بِسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ
“Dengan nama Allah dan Allah itu Maha Besar.” (H.R. Muslim)
- بِسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ اَللَّهُمَّ هَذَا مِنْكَ وَلَكَ
“Dengan nama Allah dan Allah itu Maha Besar, Ya Allah ini adalah dari-Mu
dan untuk-Mu.” (H.R. Abu Dawud dengan sanad shahih)Tidak Memberi Upah Sedikitpun Kepada Penyembelih Dari Binatang Sembelihannya
Larangan ini dipaparkan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu: “Aku pernah diperintah Rasulullah untuk mengurus kurban-kurban beliau dan membagikan apa yang kurban itu pakai (pelana dan sejenisnya pen) serta kulitnya. Dan aku juga diperintah untuk tidak memberi sesuatu apapun dari kurban tersebut (sebagai upah) kepada penyembelihnya. Kemudian beliau mengatakan: “Kami yang akan memberinya dari apa yang ada pada kami.” (Mutafaqun ‘alaihi)
Boleh Memanfaatkan Sesuatu Dari Binatang Kurban
Diperbolehkan untuk memanfaatkan sesuatu dari binatang tersebut seperti kulit untuk sepatu, tas, tanduk untuk perhiasan dan lain sebagainya. Hal ini didasarkan hadits Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu tadi.
Tidak Boleh Menjual Sesuatupun Dari Binatang Kurban
Larangan ini berlaku untuk seorang yang berkurban, dikarenakan menjual sesuatu dari kurban tersebut keadaannya seperti mengambil kembali sesuatu yang telah disedekahkan, yang memang dilarang Rasulullah . Beliau bersabda (artinya):
“Permisalan seseorang yang mengambil kembali sedekahnya seperti anjing yang muntah kemudian menjilatinya lalu menelannya.” (H.R. Muslim dan Al Bukhari dengan lafadz yang hampir sama)
Disyariatkan Pemilik Kurban Memakan Daging Kurbannya
Diantara dalil yang mendasari perbuatan ini secara mutlak (tanpa ada batasan waktu) adalah firman Allah (yang artinya):
“Maka makanlah daging-daging binatang tersebut dan berilah makan kepada orang fakir.” (Al Hajj : 28)
Demikian juga sabda Nabi (yang artinya):
“Makanlah kalian, berilah makan (baik sebagai sedekah kepada fakir atau hadiah kepada orang kaya) dan simpanlah (untuk kalian sendiri).” (H.R. Bukhari)
Adapun ketentuan jumlah yang dimakan, diinfaqkan maupun yang disimpan maka tidak ada dalil yang sah tentang hal itu. Wallahu a’lam. Hanya saja, alangkah mulianya apa yang pernah dikerjakan Rasulullah ketika beliau hanya mengambil sebagian saja dari kurban sebanyak 100 unta. (H.R. Muslim).
TEMPAT YANG UTAMA UNTUK MENYEMBELIH BINATANG QURBAN
Hadits Bukhari 5125
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي بَكْرٍ الْمُقَدَّمِيُّ حَدَّثَنَا
خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ قَالَ كَانَ
عَبْدُ اللَّهِ يَنْحَرُ فِي الْمَنْحَرِ قَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ يَعْنِي مَنْحَرَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
menyembelih binatang kurban di tempat penyembelihan, Ubaidullah mengatakan;
Yaitu di tempat yg biasa digunakan Nabi untuk menyembelih binatang kurban. [HR.
Bukhari No.5125].Hadits Bukhari 5126
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ كَثِيرِ
بْنِ فَرْقَدٍ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
أَخْبَرَهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْبَحُ
وَيَنْحَرُ بِالْمُصَلَّى
menyembelih binatang kurban di tempat yg di gunakan untuk shalat (ied). [HR.
Bukhari No.5126].Jadi tempat yang afdhol untuk menyembelih binatang qurban adalah di tempat sholat, masjid atau musholla.
Mutiara Hadits Shahih
Hadits Abu Qatadah Al Anshari :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ:
يُكَفِّرُ السَّنَةَ اْلمَاضِيَةَ وَاْلبَاقِيَةَ
“Bahwa Rasulullah pernah ditanya tentang puasa Arafah (9 Dzulhijjah).
Maka beliau menjawab: “Menghapus dosa setahun yang lalu dan yang akan datang.”
(H.R. Muslim).Wallohu'a'alm, Semoga Bermanfa'at aamiin ya robbal aalamiin.....
0 komentar:
Posting Komentar