Pengertian Sejarah dan Ilmu Sejarah
Kata “sejarah” yang dikenal dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab, syajaratun yang berarti pohon, syajarah an-nasab berarti pohon silsilah. Oleh karena itu tidak terlalu dapat dipersalahkan jika banyak buku sejarah di masa lampau, yang lebih banyak mengungkapkan riwayat seseorang atau satu keluarga daripada mengungkapkan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat dan Negara. Dalam bahasa Indonesia terdapat juga kata-kata lain yang merupakan kata serapan dari bahasa lain yang dipergunakan untuk mengkaji masa lampau seperti: “silsilah” yang menunjuk pada asal-usul keluarga atau nenek moyang; “hikayat” yang banyak dipergunakan untuk mengisahkan seseorang; ”babad” dan “carita” atau “cerita” yang dipergunakan mengisahkan kejadian-kejadian tertentu; dan masih aada kata-kata lainnya yang menjadi kebudayaan daerah tertentu seperti “tambo’ (Minangkabau) dan “tutur teteek” (Roti).
Apabila dilihat dari pemaknaan kata sejarah yang kita pahami baik sebagai masa lampau maupun sebagai ilmu, kata sejarah itu lebih dekat dengan pengertian yang terkandung pada kata historia – berasal dari ilmu kedokteran Yunani- yang berarti ilmu (istor artinya orang pandai); dalam bahasa Inggris menjadi history yang mengandung arti masa lampau manusia, dan dalam bahasa Jerman disebut gesischte yang artinya sudah terjadi. Kata-kata lainnya yang juga dipergunakan untuk menunjukkan kajian masa lampau antara lain: chronicle (kronika), geneology (keturunan), annals (tarikh), dan epic (kepahlawanan). Jika sejarah itu adalah masa lampau, maka apa yang terjadi pada pagi hari telah menjadi sejarah pada siang harinya. Secara logika pernyataan seperti itu dapat dibenarkan. Namun cara berpikir seperti itu membuat masa lampau itu menjadi bentangan yang tidak terbatasnya– mulai dari detik-detik yang baru saja kita lewati sampai jauh ke belakang, entah kapan dan di mana sejarah dapat mengungkapkannya. Apa saja yang harus dimasukkan ke dalam “masa lampau” yang demikian panjang itu? Perampokan? Gempa Bumi? Kerusuhan? Genocide? Krisis Moneter? Perang? Revolusi? Perdamaian? Kesejahteraan? dan apa lagi?
Dari pertanyaan-pertanyaan semacam itu terlihat bahwa konsep masa lampau dalam arti sejarah, akan mempunyai arti jika pembatasan telah dilakukan. Pembatasan yang paling awal adalah menyangkut dimensi waktu – kapan sampai apabila. Salah satu konsensus yang dicapai adalah bahwa sejarah satu bangsa atau etnis tertentu dimulai manakala bukti-bukti tertulis mengenai bangsa atau etnis tersebut telah ditemukan. Atas dasar kesepakatan itu maka zaman (periode) sejarah pun mulai bergulir. Adapun zaman yang belum ditemukan bukti-bukti tertulis disebut zaman “prasejarah”, meskipun dari zaman ini pun ditemukan jejak-jejak peradaban manusia, seperti seni pahat atau seni patung.
Penulisan tentang masa lampau manusia dapat dikatakan berawal di Yunani sekitar 500 tahun sebelum Masehi. Pada waktu itu penulisan sejarah atau historiografi masih merupakan perpaduan antara ilmu kedokteran dan ilmu hukum. Dari ilmu kedokteran misalnya, historiografi Yunani mendapat pengaruh untuk mencari sebab-musabab dari suatu kondisi atau kasus. Dalam menjelaskan sebab-musabab itu dilakukan melalui suatu argumentasi yang lazim dilakukan oleh ilmu hukum (retorika), seperti dilakukan seorang jaksa penuntut untuk membuktikan kesalahan terdakwa dan pengacara yang berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah. Ungkapan retorika seperti itu tidak semata-mata untuk membuktikan kebenaran, tetapi juga menciptakan makna atas kebenaran itu.
Sejarawan Yunani pertama yang melakukan pembuktian semacam itu adalah Herodotus (ca. 484-425 SM) dalam karyanya tentang “Perang Yunani-Persia” tahun 478 SM yang dilukiskan sebagai perang peradaban antara peradaban Hellenic dan Perisa (Timur). Dalam menyusun karyanya itu ia berusaha bertindak obyektif (dalam arti netral sehingga dianggap kurang patriotik) dengan menggunakan sumber data dari kedua belah pihak. Oleh karena itu dia dianggap sebagai bapak sejarah. Meskipun demikian karyanya masih mempunyai dua kelemahan, yaitu kurang akurat dalam menyajikan data, dan masih terbelenggu oleh kerangka pemikiran budaya itu, yaitu sebab-musabab supernatural. Artinya perang itu terjadi karena kehendak para dewa.
Tulisan pertama dari sejarawan Yunani yang dinilai mampu melepaskan diri dari sebab-musabab supernatural adalah Thucydides (ca. 456-396 SM). Ia menulis tentang perang antara Athena dan Sparta yang disebut sebagai Perang Peloponnesos (431-404). Dalam karyanya itu, Thucydides sebagai seorang jenderal dan politisi, mampu menghindari penjelasan supernatural. Secara akurat ia mempu merekonstruksi perang tersebut berdasarkan data-data yang diperolehnya dari kedua belah pihak, sekaligus mampu menunjukkan bahwa sebab-musabab perang bukan karena kehendak para dewa, melainkan karena ulah manusia. Perang itu terjadi karena didorong oleh persaingan antara kedua belah pihak untuk menjadi nomor satu di wilayah Yunani.
Dari uraian di atas, khususnya dua contoh karya Herodotus dan Thucydides, dapat didefinisikan di sini bahwa sejarah adalah rekonstruksi masa lampau manusia atau masa lalu manusia.
Meskipun Herodotus dan Thucydides sudah mengawali penulisan sejarah berdasarkan sumber data, akan tetapi cara pembuktian para sejarawan Yunani waktu itu pada dasarnya tidak menggunakan bukti (evidensi) seperti dokumen yang menjadi baku dalam metode sejarah masa kini. Dokumen dalam arti naskah-naskah lebih banyak digeluti oleh para ahli naskah atau filolog, yang membanding-bandingkan dua dokumen atau lebih untuk mencari mana yang otentik (asli) dan mana yang tidak otentik (cara kerja ini kemudian dikenal dengan sebutan “kritik ekstern”). Tradisi sejarawan seperti yang dilakukan para sejarawan Yunani itu berlangsung sampai sekitar abad ke-18. Pada tahun 1776 terbit buku “The History of the Decline and Fall of the Roman Empire” karya Edward Gibbon (1737-1794). Dalam karyanya itu Gibbon tidak lagi bersandar pada retorika yang meyakinkan untuk membuktikan “kebenaran sejarah”, melainkan pada dokumen-dokumen (bukti-bukti terturlis). Untuk mencari kebenaran sejarah, dia tidak saja memanfaatkan kritik ekstern seperti yang dilakukan para filolog tetapi juga kritik intern yang dikembangkan oleh para sejarawan. Gibbon dapat dikatakan merupakan sejarawan pertama yang menggunakan cara kerja ilmiah.
Meskipun yang menerapkan cara kerja ilmiah dalam pembuktian sejarah adalah Gibbon, akan tetapi yang kemudian dikenal oleh masyarakat sejarawan sebagai bapak sejarah ilmiah (science historian) atau sejarah kritis adalah sejawan Jerman, Leopold von Ranke (1795-1886). Dia dinilai sebagai peletak dasar dari metode sejarah yang bersifat ilmiah. Ia memperkenalkan cara-cara menguji isi dokumen dan menetapkan fakta sejarah yang benar. Metode sejarahnya itu diuraikannya dalam bukunya “History of Romance and Germanic Peoples, 1495-1535 yang terbit pada tahun 1824. Selain itu Ranke menekankan pentingnya obyektivitas dalam penelitian sejarah. Ia menganjurkan supaya menulis sejarah apa adanya dalam arti apa yang sebenarnya terjadi, “wie es eigentlich gewesen”, sebab setiap periode sejarah akan dipengaruhi oleh semangat zamannya (zeitgeist). Dalam bahasa Inggris kata “eigentlich” diartikan dalam dua kata, “really” (atau essentially) dan “actuality”. Para sejarawan yang menerima “actuality” terjemahan “eigentlich” berpendapat bahwa yang dimaksud oleh Ranke adalah menentukan fakta sejarah seperti apa adanya tanpa diembel-embeli ide-ide tertentu sebagai pendorongnya. Sementara yang menerima kata “essentially” atau “really” berpendapat bahwa Ranke mengakui bahwa ide-ide tertentu menjadi faktor pendorong sejarah. Artinya ia mengakui pula bahwa ilmu sejarah mempunyai keterkaitan dengan falsafah sejarah.
Langkah-langkah yang ditempuh Ranke bukan semata-mata pembuktian terhadap kebenaran fakta sejarah, melainkan juga untuk menjadikan sejarah sebagai disiplin ilmu atau cabang ilmu yang otonom sederajat dengan cabang-cabang ilmu lainnya. Langkahnya itu kemudian diikuti oleh para sejarawan lainnya, sehingga akhirnya sejarah diakui sebagai salah satu cabang ilmu yang mandiri. Sesuai dengan ketentuan sebagai cabang ilmu (ilmiah) harus mempunyai metode serta obyek penelitiannya, maka ilmu sejarah juga mempunyai metode penelitiannya yaitu “metode sejarah” serta obyek penelitiannya yaitu masa lampau manusia dan struktur sosialnya. Jika sejarah adalah rekonstruksi manusia, maka ilmu sejarah adalah ilmu yang mempelajari sejarah dalam arti bagaimana merekonstruksi semua data-data atau unsur-unsur masa lampau terkait dalam sesuatu deskripsi.
0 komentar:
Posting Komentar