Penegakan hukum di Indonesia sangat
memprihatinkan, terutama tindak pidana korupsi yang bersifat sistemik dan
memunculkan banyak ketidakadilan bagi masyarakat Indonesia. Keprihatinan ini
menggugah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan Majelis Pemberdayaan
Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah mengadakan Refleksi Akhir Tahun dengan Tema“Penegakan
Hukum: Antara Cita dan Fakta” Kamis (26/12). DR.
Artidjo Alkostar, SH, LLM sebagai Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung
RI mengungkapkan bahwa penegakan hukum merupakan kewibawaan suatu negara.
Apabila penegakan hukum di suatu negara tidak bisa diciptakan maka kewibawaan
negara tersebut pun runtuh.
“Pada masa hingga
tahun 2013 ini kejahatan Hak Asasi Manusia bermetamorfosis menjadi perampasan
hak-hak ekonomi dan sosial milik rakyat melalui gurita korupsi politik yang
endemik”. Korupsi sudah merayap ke berbagai sektor dan instansi di Indonesia
yang tentu mengahancurkan moral bangsa. Maka seorang penegak hukum dituntut
untuk menambah dan memaksimalkan pengetahuan hukum (knowledge),
meningkatkan skill yang berupa legal technical capacity dan
yang paling penting adalah memiliki integritas moral untuk menegakan hukum.
Hal senada
diungkapkan Prof. Dr. Eddy Hiariej, ada empat faktor yang harus dimiliki
untuk menegakan hukum yaitu Undang-Undang, profesionalisme penegak hukum,
sarana dan prasarana hukum serta budaya hukum masyarakat. Parahnya, menurut
Guru Besar Hukum Pidana UGM tersebut, keempat hal tersebut belum dimiliki oleh
Indonesia. “Bagaimana para penegak hukum bisa profesional jika dalam pola
rekruitmen penegak hukumnya saja sudah rusak, praktik sogok menyogok untuk
menjadi aparat hukum sudah menjadi rahasia umum,” tanya Prof Eddy kepada
peserta diskusi. Prof. Eddy juga menambahkan bahwa kesadaran hukum masyarakat
tidak terlepas dari sistem hukum. Maka para penegak hukum haruslah menjadi
contoh bagi masyarakat dalam menegakan hukum.
Selain itu
menurutnya, carut-marut Undang-Undang juga merupakan hal yang harus diperbaiki
di Indonesia. Undang-Undang di Indonesia kebanyakan dibuat dengan bahasa legal
speed making. “Bayangkan saja dalam masa pemerintahan BJ. Habibie
misalnya, dari Januari – Oktober telah dibuat sebanyak 44 Undang-Undang”,
ungkapnya. Jumlah tersebut menurutnya sangat tinggi, mengingat Undang-Undang
tidak bisa dibuat dengan sembarangan karena menyangkut dengan keadilan
masyarakat.
Keadilan dan kekuasaan merupakan hal yang seiring sejalan. Orang
yang adil harus berkuasa dan orang yang berkuasa harus adil. Bentuk
ketidakadilan seperti korupsi menurut Eko Prasetyo, SH dari MPM PP Muhammadiyah
harus diberantas bersama-sama oleh bangsa ini. Perguruan Tinggi (PT) dalam hal
ini sebagai lembaga pendidikan tertinggi haruslah berperan dalam memberantas
korupsi. PT harus bisa memberikan inspirasi kepada mahasiswanya untuk jujur dan
berani memberantas korupsi. Pendidikan di PT tidak boleh terbatas hanya dengan
buku-buku dan teori. Mahasiswa harus didekatkan dengan kasus-kasus ril di
lapangan dengan harapan akan menimbulkan keberanian untuk memberantas
korupsi. (Asri)
Indonesia adalah negara hukum
(rechstaats) yang senantiasa mengutamakan hukum sebagai landasan dalam seluruh
aktivitas negara dan masyarakat. Komitmen Indonesia sebagai negara hukum pun
selalu dan hanya dinyatakan secara tertulis dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 hasil
amandemen. Dimanapun juga, sebuah Negara menginginkan Negaranya memiliki
penegak- penegak hukum dan hukum yang adil dan tegas dan bukan tebang pilih.
Tidak ada sebuah sabotase, diskriminasi dan pengistimewaan dalam menangani
setiap kasus hukum baik PIDANA Maupun PERDATA. Seperi istilah di atas, ‘Runcing
Kebawah Tumpul Keatas’ itulah istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi
penegakkan hokum di Indonesia. Apakah kita semua merasakannya? Apakah kita bisa
melihat kenyataanya? Saya yakin pasti seluruh masyarakat Indonesia juga melihat
kenyataanya, berikut uraian penulis secara singkat bagaimanakah kondisi
penegakkan hukum di Negara Indonesia.
Kondisi Hukum di Indonesia saat ini lebih sering menuai kritik daripada pujian. Berbagai kritik diarahkan baik yang berkaitan dengan penegakkan hukum , kesadaran hukum , kualitas hukum, ketidakjelasan berbagai hukum yang berkaitan dengan proses berlangsungya hukum dan juga lemahnya penerapan berbagai peraturan. Kritik begitu sering dilontarkan berkaitan dengan penegakan hukum di Indonesia. Kebanyakan masyarakat kita akan bicara bahwa hukum di Indonesia itu dapat dibeli, yang menang mereka yang mempunyai jabatan, nama dan kekuasaan, yang punya uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walau aturan negara dilanggar. Ada pengakuan di masyarakat bahwa karena hukum dapat dibeli maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakkan hukum secara menyeluruh dan adil. Sejauh ini, hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas belaka tetapi tetapi juga dipermainkan seperti barang dagangan . Hukum yang seharusnya menjadi alat pembaharuan masyarakat, telah berubah menjadi semacam mesin pembunuh karena didorong oleh perangkat hukum yang morat-marit dan carut marut.
Praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia hukum di peradilan, peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang gampang ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini. Peradilan yang diskriminatif menjadikan hukum di negeri ini persis seperti yang didiskripsikan Filsuf Plato bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat (laws are spider webs, they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerful). Orang biasa yang ketahuan melakukan tindak pencurian kecil, seperti anak dibawah umur sdr Hamdani yang ‘mencuri’ sandal jepit bolong milik perusahaan di mana ia bekerja di Tangerang, Nenek Minah yang mengambil tiga butir kakao di Purbalingga, Aguswandi Tanjung yang ‘numpang’ ngecas handphone di sebuah rumah susun di Jakarta serta Kholil dan Basari di Kediri yang mencuri dua biji semangka langsung ditangkap dan dihukum sebesart beratnya. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang milyaran rupiah milik negara dapat bebas berkeliaran dengan bebasnya. Berbeda halnya dengan kasus-kasus yang hukum dengan tersangka dan terdakwa orang-orang yang memiliki kekusaan, jabatan dan nama. Proses hukum yang dijalankan begitu berbelit-belit dan terkesan menunda-nuda. Seakan-akan masyarakat selalu disuguhkan sandiwara dari tokoh-tokoh Negara tersebut. Seperti syair sebuah lagu " Dunia Panggung Sandiwara " Tidak ada keputusan yang begitu nyata. Contohnya saja kasus Gayus Tambunan, pegawai Ditjen Pajak Golongan III menjadi miliyader dadakan yang diperkirakan korupsi sebesar 28 miliar, tetapi hanya dikenai 6 tahun penjara, kasus Bank Century dan masih banyak lagi, hampir semua kasus diatas prosesnya sampai saat ini belum mencapai keputusan yang jelas. Padahal semua kasus tersebut begitu merugikan Negara dan masyarakat kita. Kapankan ini semua akan berakhir ?
Kondisi yang demikian atau katakanlah kualitas dari penegakan hukum ( law enforcement ) yang buruk seperti itu akan sangat berpengaruh besar terhadap kesehatan dan kekuatan demokrasi Indonesia. Mental rusak para penegak hukum yang memperjualbelikan hukum sama artinya dengan mencederai keadilan. Merusak keadilan atau bertindak tidak adil tentu saja merupakan tindakan gegabah melawan kehendak rakyat. Pada kondisi tertentu, ketika keadilan terus menerus dihindari bukan tidak tidak mungkin pertahanan dan keamanan bangsa menjadi taruhannya. Ketidakadilan akan memicu berbagai tindakan alami berupa perlawanan-perlawanan yang dapat terwujud ke dalam berbagai aksi-aksi anarkhis atau kekerasan yang kontra produktif terhadap pembangunan bangsa.
Kondisi Hukum di Indonesia saat ini lebih sering menuai kritik daripada pujian. Berbagai kritik diarahkan baik yang berkaitan dengan penegakkan hukum , kesadaran hukum , kualitas hukum, ketidakjelasan berbagai hukum yang berkaitan dengan proses berlangsungya hukum dan juga lemahnya penerapan berbagai peraturan. Kritik begitu sering dilontarkan berkaitan dengan penegakan hukum di Indonesia. Kebanyakan masyarakat kita akan bicara bahwa hukum di Indonesia itu dapat dibeli, yang menang mereka yang mempunyai jabatan, nama dan kekuasaan, yang punya uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walau aturan negara dilanggar. Ada pengakuan di masyarakat bahwa karena hukum dapat dibeli maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakkan hukum secara menyeluruh dan adil. Sejauh ini, hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas belaka tetapi tetapi juga dipermainkan seperti barang dagangan . Hukum yang seharusnya menjadi alat pembaharuan masyarakat, telah berubah menjadi semacam mesin pembunuh karena didorong oleh perangkat hukum yang morat-marit dan carut marut.
Praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia hukum di peradilan, peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang gampang ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini. Peradilan yang diskriminatif menjadikan hukum di negeri ini persis seperti yang didiskripsikan Filsuf Plato bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat (laws are spider webs, they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerful). Orang biasa yang ketahuan melakukan tindak pencurian kecil, seperti anak dibawah umur sdr Hamdani yang ‘mencuri’ sandal jepit bolong milik perusahaan di mana ia bekerja di Tangerang, Nenek Minah yang mengambil tiga butir kakao di Purbalingga, Aguswandi Tanjung yang ‘numpang’ ngecas handphone di sebuah rumah susun di Jakarta serta Kholil dan Basari di Kediri yang mencuri dua biji semangka langsung ditangkap dan dihukum sebesart beratnya. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang milyaran rupiah milik negara dapat bebas berkeliaran dengan bebasnya. Berbeda halnya dengan kasus-kasus yang hukum dengan tersangka dan terdakwa orang-orang yang memiliki kekusaan, jabatan dan nama. Proses hukum yang dijalankan begitu berbelit-belit dan terkesan menunda-nuda. Seakan-akan masyarakat selalu disuguhkan sandiwara dari tokoh-tokoh Negara tersebut. Seperti syair sebuah lagu " Dunia Panggung Sandiwara " Tidak ada keputusan yang begitu nyata. Contohnya saja kasus Gayus Tambunan, pegawai Ditjen Pajak Golongan III menjadi miliyader dadakan yang diperkirakan korupsi sebesar 28 miliar, tetapi hanya dikenai 6 tahun penjara, kasus Bank Century dan masih banyak lagi, hampir semua kasus diatas prosesnya sampai saat ini belum mencapai keputusan yang jelas. Padahal semua kasus tersebut begitu merugikan Negara dan masyarakat kita. Kapankan ini semua akan berakhir ?
Kondisi yang demikian atau katakanlah kualitas dari penegakan hukum ( law enforcement ) yang buruk seperti itu akan sangat berpengaruh besar terhadap kesehatan dan kekuatan demokrasi Indonesia. Mental rusak para penegak hukum yang memperjualbelikan hukum sama artinya dengan mencederai keadilan. Merusak keadilan atau bertindak tidak adil tentu saja merupakan tindakan gegabah melawan kehendak rakyat. Pada kondisi tertentu, ketika keadilan terus menerus dihindari bukan tidak tidak mungkin pertahanan dan keamanan bangsa menjadi taruhannya. Ketidakadilan akan memicu berbagai tindakan alami berupa perlawanan-perlawanan yang dapat terwujud ke dalam berbagai aksi-aksi anarkhis atau kekerasan yang kontra produktif terhadap pembangunan bangsa.
Dengan kata lain, situasi ketidakadilan atau kegagalan mewujudkan keadilan melalui hukum menjadi salah satu titik problem yang harus segera ditangani dan negara harus sudah memiliki kertas biru atau blue print untuk dapat mewujudkan seperti apa yang dicita citakan pendiri bangsa ini . Namun menta dan moral korup yang merusak serta sikap mengabaikan atau tidak hormat terhadap sistim hukum dan tujuan hukum darai pada bangsa Indonesia yang memiliki tatanan hukum yang baik , menurut penulis , sebagai gambaran bahwa penegakkan hukum merupakan karakter atau jati diri bangsa Indonesia sesuai apa yang terkandung dalam isi dari Pancasila dan Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 .dengan situasi dan kondisi seperti sekarang ini norma dan kaidah yang telah bergerasar kepada rasa egoisme dan individual tanpa memikirkan orang lain dan inilah nilai ketidakadilan akan meningkatkan aksi anarkhisme, kekerasan yang jelas-jelas tidak sejalan dengan karakter bangsa yang penuh memiliki asas musyawarah untuk mufakat seperti yang terkadung dan tersirat dalam isi Pancasila .
Lalu pertanyaanya, faktor apa yang menyebabkan sulitnya penegakan hukum di Indonesia? Jika dikaji dan ditelaah secara mendalam, setidaknya terdapat tujuh faktor penghambat penegakan hukum di Indonesia, ketujuh faktor tersebut yaitu sebagai berikut ;
1. (Pertama ), lemahnya political will dan political action para pemimpin negara ini, untuk menjadi hukum sebagai panglima dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain, supremasi hukum masih sebatas retorika dan jargon politik yang didengung-dengungkan pada saat kampanye.
2. (Kedua), peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa ketimbang kepentingan rakyat.
3. (Ketiga) , rendahnya integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat) dalam menegakkan hukum.
4. (Keempat) , minimnya sarana dan prasana serta fasilitas yang mendukung kelancaran proses penegakan hukum.
5. (Kelima) , tingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang masih rendah serta kurang respek terhadap hukum.
6. (Keenam) , paradigma penegakan hukum masih positivis-legalistis yang lebih mengutamakan tercapainya keadilan formal (formal justice) daripada keadilan substansial (substantial justice).
7. (Ketujuh), kebijakan (policy) yang diambil oleh para pihak terkait (stakeholders) dalam mengatasi persoalan penegakan hukum masih bersifat parsial, tambal sulam, tidak komprehensif dan tersistematis.
Mencermati berbagai problem yang menghambat proses penegakan hukum sebagaimana diuraikan di atas. Langkah dan strategi yang sangat mendesak (urgent) untuk dilakukan saat ini sebagai solusi terhadap persoalan tersebut ialah melakukan pembenahan dan penataan terhadap sistem hukum yang ada. Sebagai masyarakat Indonesia, negeri ini sangat butuh penegakkan hokum yang adil dan tegas. Tidak ada diskriminasi dalam penegakkanya, masyarakat Indonesia begitu haus dengan penegakkan hukum yang adil. seperti pepatah mengatakan dalam melakukan penegakkan hukum " Menegakkan Benang Basah " oleh karena itu agar seluruh anak bangsa Indonesia melakukan perubahan ( reform ) dalam melakukan perbuatan hukum yang dicita citakan dan jangan ada lagi rasa individualisme , egoisme yang harus dijalankan oleh masyarakat Indonesia adalah suatu Kebersamaan melawan Kejahatan yang dapat menghancurkan sendi sendi kehidupan sosial seperti judul Tulisan saya " Penegkkan Hukum " Runcing Kebawah dan Tumpul Keatas " hal ini merupakan PR pemerintah yang sekarang agar jangan terjadi perpecahan di negeri ini mengingat dimana mana terjadi konflik masyarakat karena ketidakadilan seperti halnya kasus di Papua , Bima , Lampung dan banyak lagi tempat di Indonesia ini yang dapat memicu konflik nasional dan hal ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah sebagai Regulator namun merupakan tanggung jawab seluruh bangsa Indonesia serta lembaga lembaga sosial dan lembaga lembaga gereja seperti hal gereja GBKP dalam ikut berpartisipasi membenahi carut marutnya penegakkan hukum di negeri ini dan sangat baik jika mjemaat gereja GBKP mengambil bagian ikut membenahi keadaan negeri ini dan jemaat gereja GBKP memiliki kesadaran hukum yaitu mulai dari keluarga keluarga kecil dan sampai ke kumunitas masyarakat Karo untuk membangkitkan semangat penegakkan hukum tanpa syarat. Memang bukan hal yang mudah untuk melakukan perubahan dari selama 32 Tahun dizaman orde baru dimana penegakkan hukum lebih memiliki kepastian hukum walaupun masih ada kebocoran kebocoran namun dibandingkan sekarang ini dizaman reformasi yang merupakan masih sebatas eforia , penegakkan hukum semakin tidak jelas dan tidak memiliki kepastian hukum dan banyak ontoh yang bisa dijelaskan penulis karena penulis adalah seorang praktisi hukum yang sudah bergelut didunia hukum sudah 20 tahun mungkin dikesempatan lain bisa kita pertajam lagi tentang pengakkan hukum ini .
Perlindungan Hukum
Perlindugan hukum adalah
segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum sebagai segala
upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada warganya agar hak-haknya sebagai
seorang warga negara tidak dilanggar, dan bagi yang melanggarnya akan dapat
dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Contoh perlindungan hukum
adalah perlindungan hukum terhadap konsumen.
Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah
proses dilaksanakannya upaya untuk memfungsikan norma hukum secara nyata
sebagai pedoman perilaku dalam bermasyarakat dan bernegara. Contoh penegakan
hukum sangat banyak disekitar kita, misalnya penangkapan pengedar narkotika
dan sebagainya.Dasar Hukum Perlindungan dan Penegakan Hukum dalam Konstitusi
|
Pasal 27 ayat (1) UUD RI 1945
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.”
Pasal 28 D ayat (1) UUD RI 1945
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.”
Pasal 24 ayat (1) UUD RI 1945
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan."
Pasal 28 ayat (5) UUD RI 1945
“Untuk menegakkan dan melindungi Hak Asasi Manusia
sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan Hak Asasi
Manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.”
Pasal 30 ayat (4) UUD RI 1945
“Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat
negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi,
mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum."
Realitas Penegakan Hukum di Indonesia
Seperti
yang kita rasakan akhir-akhir ini, sifat hukum di Indonesia seperti tumpul ke
atas dan tajam ke bawah. Misalnya saja penegakan hukum terhadap koruptor yang
kebanyakan hanya menerima hukum yang tidak sesuai dengan perbuatannya,
sebaliknya para rakya kecil jika melanggar maka hukumannya sangat berat seperti
kasus pencurian buah kapuk yang dilakukan oleh seorang kakek yang
menyebabkannya masuk bui beberapa tahun. Hal ini membuat kita pesimis akan
nasib penegakan hukum di Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar